Sabtu, 09 Juni 2012


Islam dan Negara orde baru
Politik Islam, Dakwah dan Negara
Disharmoni antara politik Islam, Dakwah dan Negara (Institusi politik) adalah realitas yang tak bisa disangkal, tak ada yang linier apalagi sinergis antara ketiganya (Politik Islam, Dakwah dan Negara) baik dalam tataran konsepsi maupun aksi. Ketiganya bisa berjalan sendiri-sendiri, bisa pula berjalan paralel atau berjalan seri, bisa juga berjalan berhadap-hadapan politik Islam kontra dakwah, dakwah kontra negara, negara kontra politik Islam bisa juga politik Islam dan dakwah kontra negara, negara dan dakwah kontra politik Islam, atau negara dan politik Islam kontra dakwah.
Tidak ajegnya hubungan politik Islam, Dakwah dan Negara salah satu sebab yang telah disebutkan diatas adalah tidak adanya “Unity of command”, dan sebab lainnya karena corak Islam yang multi interpretasi sebagai hasil dari perjalanan sejarah Islam dalam eskalasi global dunia maupun lokal keindonesiaan. Ketidak ajegan juga dikarenakan tindakan musuh-musuh Islam baik dengan metode persuasive, refresive maupun aksi militeristik yang terus-menerus berupaya “memenjarakan” dan “membunuh” Islam dan Umat Islam sebagai sesuatu yang dianggap tidak layak dan tidak pantas hidup di muka bumi.
Realitas kehidupan sebagai umat manusia yang diwajibkan oleh Allah swt untuk berbakhti memenuhi kehendak Ilahi seakan ada di wilayah samar keadaan yang diliputi hijab yang tumpang tindih dari gradasi hitam pekat, hitam, kehitam-hitaman sampai putih kehitaman (meski tidak beranjak dari kenyataan “hitam”). Kebingungan, ketidak mengertian, tak sadarkan diri sampai keadaan “mati suri” dialami oleh masyarakat (Islam) yang heterogen dalam pemahaman, keyakinan sampai pengamalan. Sesuatu yang mestinya tidaklah sedemikian parahnya seperti sekarang ini, keadaan umat yang “bergantung tak bertali”.
Romantika Politik Islam Masa Orde Baru
Rejim Orde Baru yang dipimpin Soeharto merupakan hasil dari “CPM (Cudeta Politik Militer)” terhadap Soekarno, telah membuat stempel sejarah dengan menjadikan dua tregedi sejarah yang terjadi di masa Orde Lama yaitu berdirinya NII 1949 (-“pemberontakan DI/TII”) dan G 30 S/PKI 1965 sebagai stempel negara untuk mengokohkan dan mempertahankan kekuasaan sosio politiknya. Stigma yang dibuat secara sistemik menjadikan “ekstrim kanan” NII dan “ekstrim kiri” PKI sebagai monster yang membahayakan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara (Baca : Orde baru).
H. Hartono Mardjono S.H., (Alm) menangkap fenomena unik yang terjadi pasca penumpasan G 30 S/PKI 1968-an dalam kehidupan sosial politik bangsa Indonesia. Setidakanya ada tiga fenomena unik diantaranya :
§  Pertama, ditengah-tengah kehidupan sehari-hari gairah masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan Islam memang luar biasa. Semua masjid penuh sesak pada setiap shalat Jum’at dan pada saat-saat Shalat Taraweh dan Shalat Ied. Di kantor-kantor, gedung-gedung, sekolah-sekolah, kampus-kampus maupun hotel diselenggarakan shalat Jum’at dan pengajian-pengajian, jumlah jama’ah Haji terus meninggat.
§  Fenomena kedua, dikantor-kantor pemerintah maupun perusahaan swasta dan kampus terjadi pembersihan terhadap sisa-sisa yang tersangkut langsung maupun tidak dengan G30S/PKI terus dilakukan.
§  Fenomena ketiga, adanya satu kekuatan yang sikap dan tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta selalu berupaya menyingkirkan Umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru. Klik atau kelompok kecil itu berada di bawah pimpinan Ali Moertopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan Orde Baru disamping menjadi pemimpin Operasi Khusus (Opsus), sebuah badan ekstrakonstitusional yang melakukan operasi-operasi khusus dengan cara-cara intelejen. Dalam prakteknya OPSUS merupakan invisible government yang dapat melakukan segala macam tindakan, termasuk merekayasa kehidupan sosial politik sehingga peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat.
Sebenarnya telah terjadi dua fenomena yang kontradiktif. Disatu pihak, Islam sangat diminati dalam kehidupan masyarakat, sekaligus dipelajari, dan diamalkan. Bahkan potensi umatnya sangat diperlukan dalam menumpas pemberontakan PKI. Akan tetapi, ibarat anomaly, di dalam masalah politik hal itu menjadi lain sama sekali.
Kuntowijoyo , menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan negara sebagian ajeg sebagian naik-turun. Menurutnya Kita “terpaksa” membedakan agama (Islam) sebagai kekuatan politik dan Islam sebagai Ibadah. Politik Islam demikian sudah dijalankan pada peralihan abad ke-20 oleh pemerintahan Hindia Belanda atas anjuran C. Snouck Hurgroje (Baca H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985) “Islam Politik” ditekan, “Islam Ibadah” di angkat. Hasilnya? Lahirnya SI (Syarekat Islam) pada tahun 1911 berkat mobilitas social kelas menengah terpelajar dan usahawan yang menjadikan Islam sebagai Aqidah dan Ideologi.
Sadar atau tidak rupanya Orde Baru memakai politik islam made in C. Snouck Hurgronje sepanjang 1970-1990. Kepada “Islam Politik” Orde Baru hubungannya diwarnai kecurigaan, dan kepada “Islam Ibadah” sepanjang tahun 1970 – 1990 menunjukan kenaikan terus menerus.
Dr. Din Syamsudin melihat hubungan “Islam Politik” dan pemerintahan Orde Baru diantaranya menyebutkan bahwa masa sepuluh tahun pertama (1966-1976) merupakan “masa pengkondisian” dimana terjadi depolitisasi terhadap kalangan Islam. Sepuluh tahun kedua (1976-1986) muncul apa yang disebut “masa uji coba” yang meniscayakan kalangan Islam menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam berbagai organisasi sosial politik .
Sementara R. William Liddle, Indonesianis asal Amerika, menyebutkan bahwa akhir 1960-an sampai pertengahan tahun 1980-an merupakan masa yang sangat berat bagi umat Islam, dalam posisinya sebagai kambing hitam tercetusnya berbagai peristiwa di tingkat nasional. Namun sejak pertengahan 1980-an, kebijakan politik Orde Baru melalui perlawanan yang bersifat manifes. Dalam hal ini, berkembang berbagai model koreksi dan kontrol terhadap jalannya kekuasaan melalui cara-cara yang terbuka dan artikulasi terus-terang.
Berbagai telaah tentang hubungan umat Islam dengan pemerintahan Orde Baru ternyata bermuara pada kesimpulan yang sama, yaitu diwarnai pasang surut. Responsifitas panggung politik Orde Baru terhadap Umat islam secara umum yang berdampak pada gerakan dakwah Islam secara khusus mengalami 3 masa peralihan.
Marginalisasi Islam Dari Panggung Politik Orde Baru (1968 – 1988)
Kuntowijoyo menuliskan tentang “Islam Politik” (istilah yang dipakai beliau tentang Politik Islam) dimana mitos politik tentang pembangkangan Islam sangat terpateri dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu sejak kerajaan-kerajaan tradisional (dengan “Kudeta” para wali melahirkan Kerajaan Demak) Zaman Belanda dengan PerlawananGerakan Islam), dan NKRI dengan (“DI/TII”) yang menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru bersikap sangat kritis terhadap “Islam Politik”. Demikianlah sepanjang tahun 1970 –1988 kata-kata “ekstrem kanan”, “NII”, “mendirikan Negara Islam”, “SARA” dan “Anti Pancasila” sangat gencar dituduhkan pada “Islam Politik”. Berjatuhan korban-korban di Nusakambangan, Cipinang, dan tempat-tempat lain.
Kalangan umat Islam, khususnya keluarga besar eks-Masyumi merasa sangat kecewa atas sikap dan kebijakan pemerintahan Orde Baru pada rentang tahun 70-an. Orde Baru telah melarang kehadiran kembali Masyumi, sementara Ali Moertopo dan kawan-kawan selaku invisible government melakukan rekayasa politik untuk mengubah status Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai partai politik dengan dukungan penuh ABRI dan birokrasi. Hal lain yang patut dicatat adalah adanya slogan atau doktrin yang disiapkan Ali Moertopo Cs dan kemudian selalu didengung-dengungkan di tengah masyarakat bahwa “Islam sangat membahayakan kelangsungan hidup Pancasila”, bahwa “Politik No, Pembangunan Yes”, “Rakyat harus menjadi floating mass” serta bagi pegawai negeri dan karyawan BUMN berlaku asas monoloyalitas mutlak kepada Golkar, bukan kepada bangsa dan Negara”.
Apa yang terjadi di tahun 1980-an dalam rangkaian peristiwa politik Orde Baru, diantaranya yang penting dicatat :
§  Tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto dengan resmi mengemukakan gagasan “Asas Tunggal Pancasila” di depan sidang pleno DPR RI yang kemudian tertuang dalam Tap II/MPR/1983, tentang GBHN yang mengatur kehidupan sosio politk, yang menegaskan : “… demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, secara partai politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas.”
§  Sementara itu Menteri Agama RI pada tanggal 6 November 1982 menyatakan “Wadah Musyawarah antar Umat Beragama” yang diakui oleh pemerintah sebagai lembaga, terdiri dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) DGI (Dewan Gereja Indonesia), MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia), PHDP (Parasida Hindhu Dharma Pusat) dan WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia). Sementara majelis agama dan organisasi kemaysrakatan mempunyai asas keyakinan menurut agama masing-masing dengan tetap tidak mengabaikan penghayatan dan pengamalan Pancasila, sebab tujuan mereka ialah “ …Untuk membina umatnya masing-masing agar menjadi pemeluk/pengikut agama yang taat, sekaligus warga negara yang Pancasilais”.
§  Selanjutnya Menteri Pemuda dan Olah Raga, Abdul Gafur mendesak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bukan parpol untuk merubah Anggaran Dasar Organisasinya dalam Kongres HMI di Medan, menjadikan Pancasila sebagai asas.
§  Pemerintah Orde Baru mengajukan RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menegaskan pasal 2 berbunyi : “Organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Dan RUU tersebut disahkan menjadi UU oleh DPR.
Menarik untuk dicermati respon M. Natsir (alm) terhadap perkembangan politik pemerintahan Orde Baru tahun 1980-an pada Panji Masyarakat No. 542 Juni 1987 beliau menyatakan : “ Dulu Islam dan Pancasila ibarat dua sejoli, “kerabat kerja” yang bersama-sama tampil ke depan dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu zaman beredar, musim berganti. Sekarang (1980-an) kelihatan duduk berdampingan saja tidak diperbolehkan lagi. Selanjutnya beliau menyatakan “ adapun perspektif di zaman seterusnya banyak sekali tergantung kepada umat Islam sendiri. Kepada kemampuannya memulihkan rasa-harga-diri, dan kualitas kegiatannya menghadapi ujian masa. Tidak ada yang tetap dalam hidup –duniawi ini. Yang tetap hanya terus beredarnya perubahan.
Masa Orde Baru yang akomodatif terhadap Islam (1988 – 1996)
Bila Dasawarsa 1970-an dihiasi dengan adanya peristiwa Komando Jihad (Komji), 1984 terjadi Peristiwa Tanjung Periok, tahun 1989 ada GPK Lampung. Pada tahun 1990-an istilah “Islam phobi” balik digunakan untuk orang-orang yang mencoba mendeskriditkan Islam maka sejak itu menurut Kunto gugurlah mitos-mitos politik pembangkangan Islam. Umat merasakan kembali hak sebagai warga negara penuh, umat Islam bukan lagi Underdog.
Diawali pada periode Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan diteruskan pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), kebijakan politik Mandataris MPR yang akomodatif terhadap Islam memang dapat dilihat dan dirasakan. Islam dan umat tidak “lagi” dipinggirkan dan disudutkan dari kekuasaan politik sehingga ajaran-ajarannya mulai dirasakan manfaatnya bagi kepentingan pembangunan dan kehidupan bangsa Indonesia . Keadaan sosio politik pasca 1988 berpengaruh pula terhadap adanya iklim kondusif bagi berkembangnya gerakan dakwah.
Sikap akomodatif pemerintah terhadap umat Islam diantaranya :
1.      Disetujuinya Inisiatif pemerintah yang mengajukan RUU Sistem Pendidikan Nasional kepada DPR dan menjadi UU Sistem Diknas yang salah satu ketentuan dalam UU tersebut tercantum adanya Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib yang harus diberikan kepada anak didik dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi.
2.      Disyahkannya UU Peradilan Agama yang memuat bahwa bagi mereka yang beragama Islam berlaku hukum Islam dalam masalah perkawinan, warisan, waqaf, hibah dan sedekah.
3.      Disyahkannya UU Perbankan tentang keberadaan Bank Muamalat Indonesia dengan system Ekomoni Syari’at dan diperbolehkannya berdirinya Bank-bank yang berdasarkan system ekonomi syari’at, maka berdirilah Bank-bank Perkeriditan Syari’at (BPR Syariah).
4.      Penghapusan larangan mengenakan Jilbab. Sebelum SU MPR 1988, sejak tahun 1978 di lingkungan sekolah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daud Yusuf yang juga Direktur CSIS melarang siswa Muslimah mengenakan Jilbab yang berdampak pada banyaknya korban yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. Kebijakan ini mendapat reaksi yang sangat keras dari Umat Islam yang akhirnya larangan mengenakan jilbab di hapus oleh pemerintah.
5.      Penghapusan Judi SDSB seusai SU MPR 1988.
6.      Berdirinya ICMI yang diketuai oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie yang juga selaku Menristek pada tahun 1990. Dengan hadirnya ICMI berdampak pada akomodatif pemerintah terhadap umat Islam.
7.      Dijadikannya IMTAK (Iman dan Takwa) sebagai asas Pembangunan Nasional dalam GBHN 1993 yang merupakan produk SU MPR 1993.
8.      Melemahnya kekuasaan “RMS” (Radius, Mooi, Sumarlin) pada Kabinet Pembangunan VI tahun 1993 dan digantikan perannya oleh Saleh Afif dan Mar’ie Muhammad, serta banyak menteri baru dari ICMI, sehingga menguatnya isu Islamisasi atau “penghijauan” di pemerintahan.
Mendekatnya Soeharto ke Islam adalah realitas politik yang dihadapi pada masa ini. Menurut sejumlah pengamat, bergesernya sikap politik Soeharto yang lebih cenderung ke Islam memunculkan tiga kemungkinan. Pertama adanya kooptasi pemerintah terhadap umat Islam. Pemerintah sebagai subyek menjadikan umat Islam sebagai obyek dan dimanfaatkan untuk tujuan politiknya.
Kedua, adanya akomodasi pemerintah terhadap umat Islam. Pemerintah menyadari akan kekeliruannya di masa lalu. Sebagai balasannya, pemerintah mengakomodasi kepentingan umat Islam dengan cara mendekati, merangkul umat Islam dan memberikan tempa yang layak di dalam inner circle kekuasaan.
Ketiga, suatu bentuk integrasi umat ke pemerintah. Disini posisi umat sebagai pihak yang pro-aktif terhadap pemerintah. Umat Islam sebagai subyek melakukan integrasi ke dalam lingkar kekuasaan. Hal ini dapat juga dibaca sebagai keberhasilan umat Islam membuat jaringan dakwah hingga menembus lapisan kekuasaan tertinggi, yakni presiden .
Sulit untuk melihat dari tiga kemungkinan itu mana yang benar karena sejarah politik Islam di Indonesia tidak pernah terlepas dari idiom “pendorong mobil mogok” “habis manis sepah dibuang” atau politik “NU (Nurut Udud)”.
 diposting oleh :
Nama : M vista nazar                                                                                   kelas    :2ea11
NPM   :14210444

Tidak ada komentar:

Posting Komentar