Senin, 11 Juni 2012

Pengertian Internet



P
Internet merupakan singkatan dari Interconnected Network. Jika diterjemahkan secara langsung berarti jaringan yang saling terhubung. Internet adalah gabungan jaringan komputer di seluruh dunia yang membentuk suatu sistem jaringan informasi global.
Semua komputer yang terhubung ke internet dapat mengakses semua informasi yang terdapat di internet secara gratis. Internet dapat digunakan sebagai sarana pertukaran informasi dari satu komputer ke komputer lain tanpa dibatasi oleh jarak fisik kedua komputer tersebut. Peranan internet yang sangat penting adalah sebagai sumber data dan informasi serta sebagai sarana pertukaran data dan informasi.
Sejarah Internet
Perkembangan internet diawali dengan dibangunnya jaringan ARPANet pada tahun 1969. ARPA (Advanced Research Project Agency) merupakan sebuah jaringan yang dikembangakan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang tugasnya untuk melakukan penelitian terhadap jaringan komputer dengan teknologi packet switching. Jaringan tersebut semula hanya beranggotakan beberapa komputer di beberapa universitas di Amerika Serikat, seperti University of California-Los Angeles dan Stanford Research Institute. Di awal perkembangannya, jaringan tersebut hanya digunakan khusus untuk kalangan akademik dan militer. Istilah internet sendiri muncul sekitar tahun 1983 dengan ditemukannya protocol TCP/IP (Transmission Control Protocol/Intenet Protocol) yang memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan jaringan itu dan mampu menyatukan beberapa sistem jaringan yang berbeda.

diposting oleh
Nama :M.vista nazar
kelas :2ea11
NPM;14210444

Sabtu, 09 Juni 2012


HAK ASASI MANUSIA DAN ISLAM
Pada dasarnya, semua Rasul dan Nabi Allah adalah pejuang-pejuang penegak hak  asasi manusia yang paling gigih. Mereka tidak hanya sekedar membawa serangkaian pernyataan akan hak-hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam Kitab-kitab Suci, seperti Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an, akan tetapi sekaligus memperjuangkannya dengan penuh kesungguhan dan pengorbanan.
AI-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna (QS. 5:3). Di samping mengajarkan hubungannya dengan sang Pencipta ( Hablummin Allah) juga menegaskan tentang pentingnya hubungan antar manusia (hablum min al-nas) (QS.3:112). Pengakuan ini bukan hanya berdasarkan truth claim umat Islam, tetapi kaum orientalis pun mengakui kesempurnaan yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia itu, sebagaimana V.N. Deanmenyatakan bahwa “Islam adalah perpaduan yang sangat sempu. agama, sistem politik, pandangan hidup, dan penafsiran sejarah.” Demikian pula Gibb menyatakan bahwa, “Sungguh ajaran Islam jauh lebih bany sebuah sistem teologi. Islam adalah peradaban yang sangat sempurna.
Dalam hubungan dengan HAM, dari ajaran pokok tentang  hablum min Alllah danhablum min al-nas, muncul dua konsep hak, yakni a manusia  (haq a -insan) dan hak Allah. Setiap hak saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi hak manusia dan juga sebaliknya. Konsep Islam mengenai kehidupan manusia ini didasarkan pada pendekatan teosentris atau yang menempatkan Allah melalui ketentuan syari at-Nya sebagai tolok ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga negara.
Oleh karena itu, konsep Islam tentang HAM berpijak pada Tauhid, yang pada dasarnya; didilamnya  mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia yang oleh Harun Nasution disebut sebagai ide perkemaklukan. Ide perikemakhlukan memuat nilai-nilai kemanusiaan dalam arti sempit. Ide perikemakhlukan mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang­wenang terhadap sesama makhluk termasuk juga pada binatang dan alam sekitar.
Berdasarkan tingkatannya, Islam mengajarkan tiga bentuk hak asasi manusia, yaitu:
Pertama hak darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya mernbuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya, misalnya mati.
Kedua_hak hajy (hak sekunder), yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak elementer, misalnya hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak, maka akan rnengakibatkan hilangnya hak hidup.
Ketiga, hak tahsiny, yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder.
Dengan demikian, HAM dalam Islam lebih dulu muncul. Tepatnya, Ma­gna Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam. Di samping nilai–nilai dasar dan prinsip-prinsip HAM itu ada dalam sumber ajaran Islam, yakni Al-­Qur’an dan Hadis, juga terdapat dalam praktik-praktik kehidupan Islam. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM yaitu pendeklarasian Piagam Madinah yang dilanjutkan dengan deklarasi Kairo.
Dalam Piagam Madinah, paling tidak ada dua ajaran pokok yang berhu­bungan dengan HAM, yaitu pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa; dan hubungan antara komunitas muslim dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip:
1, berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga;
2. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
3. membela mereka yang teraniaya;
4, saling menasehati;
5, menghormati kebebasan beragama.
Adapun ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo adalah sebagai berikut:
1. Hak persamaan dan kebebasan (QS. al-Isra [17]:70; al-Nisa [4]:58,1i dan 135;
al-Mumtahanah [60]:8);
2. Hak hidup (QS. al-Maidah [5]:45 dan al-Isra [17]:33);
3. Hak perlindungan diri (QS. al-Balad [90]:12-17 clan al-Taubah [9]:6]
4. Hak kehormatan pribadi (QS. al-Taubah [9]:6);
5. Hak berkeluarga (QS. al-Baqarah [2]:221; a]-Rum [30]:21; al-Nisa [4: al-Tahrim [66]:6);
6. Hak kesetaraan wanita dengan pria (QS. al-Baqarah [2]:228 clan al [49]:13);
7. Hak anak dari orang tua (QS. al-Baqarah [2]:233; al-Isra [17]:23-24);
8. Hak mendapatkan pendidikan (QS. al-Taubah [9]:122 clan al-’Alaq 5);
9. Hak kebebasan beragama (QS. al-Kafirun [109]:1-6; al-Baqarah [2]:1 al-Kahfi
[18]:29);
10. Hak kebebasan mencari suaka (QS. al-Nisa [4]:97; al-Mumtahanah
11. Hak memperoleh pekerjaan (QS. al-Taubah [9]:105; al-Baqarah [2]:. al-Mulk
67]:15);
12. Hak memperoleh perlakuan sama (QS. al-Baqarah [2]:275-278; [4]:161, dan Ali
Imran [3]:130);
13. Hak kepemilikan (QS. al-Baqarah [2]:29; al-Nisa [4]:29);
14. Hak tahanan   (QS. al-Mumtahanah [60]:8).
Atas dasar itu, Islam sejak jauh-jauh hari mengajarkan bahwa pandangan Allah semua manusia adalah sama derajat. Yang membedakan manusia adalah tingkat kesadaran moralitasnya, yang dalam perspektif Islam disebut “nilai ketaqwaannya”. Apalagi, manusia diciptakan untuk merepresentasikan dan melaksanakan ajaran Allah di muka bumi, sudah barang tentu akan semakin memperkuat pelaksanaan HAM.
Oleh karena itu, jika harkat dan martabat setiap perorangan atau manusia harus dipandang dan dinilai sebagai cermin, wakil, atau representasi harkat martabat seluruh umat manusia, maka penghargaan dan penghormatan kepada harkat masing-masing manusia secara pribadi adalah suatu amal kebajikan yang memiliki nilai kemanusiaan universal. Demikian pula sebaliknya pelanggaran dan penindasan kepada harkat dan martabat seorang pribadi adalah tindak kejahatan kepada kemanusiaan universal, suatu dosa kosmis (kemanusiaan) yang amat besar
Harkat dan martabat itu merupakan hak dasar manusia, tentu dengan pemenuhan keperluan hidup primerya berupa sandang, pangan, papan. Tetapi, terpenuhinya segi kehidupan lahiri tidaklah akan dengan senrinya berarti menghantar manusia kepada dataran kehidupan yang lebih tinggi. Kehidupan material dan kemakmuran hanyalah salah satu prasarana meskipun amat penting, jika bukannya yang paling penting, bagi pencapaian kehidupan yang lebih tinggi.
Meminjam adagium kaum sufi, Hanya orang  yang mampu  berjalan di tanah datar yang bakal mampu menendaki bukit . Namun Justeru ibarat orang yang mampu berlari di tanah datar tapi belum tentu tertarik untuk mendaki bukit, demikian pula halnya dengan orang yang telah terpenuhi kehidupan lahiriahnya, belum tentu ia tertarik meningkatkan dirinya kedataran kehidupan yang lebih tinggi.Mungkin ia sudah puas hanya berlari-lari dan berputar-putar di tanah datar. Maka , tidak sedikit orang yang memandang pemenuhan kehidupan lahiri sebagai tujuan akhir dan menadi titik ujung cita-cita hidupnya.
Mengenai Hak Asasi manusia yang berkaitan dengan hak-hak warga Negara, al-Maududi menjelaskan bahwa dalam Islam, hak asasi pertama dan utama warga Negara adalah :
1. Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri, kecuali dengan alasan-alasan  yang sah dan legal
2. Perlindungan atas kebebasan pribadi. Kebebasan pribadi tidak bias dilanggar , kecuali setelah melalu proses pembuktian yang meyakinkan secara hokum dan memberi kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan.
3. Kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing.
4. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga Negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan. Salah satu diwajibkan zakat kepada umat Islam, salah satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok warganegara.


diposting oleh :
nama :M.vista nazar
kelas :2ea11
NPM :14210444

Islam dan Negara orde baru
Politik Islam, Dakwah dan Negara
Disharmoni antara politik Islam, Dakwah dan Negara (Institusi politik) adalah realitas yang tak bisa disangkal, tak ada yang linier apalagi sinergis antara ketiganya (Politik Islam, Dakwah dan Negara) baik dalam tataran konsepsi maupun aksi. Ketiganya bisa berjalan sendiri-sendiri, bisa pula berjalan paralel atau berjalan seri, bisa juga berjalan berhadap-hadapan politik Islam kontra dakwah, dakwah kontra negara, negara kontra politik Islam bisa juga politik Islam dan dakwah kontra negara, negara dan dakwah kontra politik Islam, atau negara dan politik Islam kontra dakwah.
Tidak ajegnya hubungan politik Islam, Dakwah dan Negara salah satu sebab yang telah disebutkan diatas adalah tidak adanya “Unity of command”, dan sebab lainnya karena corak Islam yang multi interpretasi sebagai hasil dari perjalanan sejarah Islam dalam eskalasi global dunia maupun lokal keindonesiaan. Ketidak ajegan juga dikarenakan tindakan musuh-musuh Islam baik dengan metode persuasive, refresive maupun aksi militeristik yang terus-menerus berupaya “memenjarakan” dan “membunuh” Islam dan Umat Islam sebagai sesuatu yang dianggap tidak layak dan tidak pantas hidup di muka bumi.
Realitas kehidupan sebagai umat manusia yang diwajibkan oleh Allah swt untuk berbakhti memenuhi kehendak Ilahi seakan ada di wilayah samar keadaan yang diliputi hijab yang tumpang tindih dari gradasi hitam pekat, hitam, kehitam-hitaman sampai putih kehitaman (meski tidak beranjak dari kenyataan “hitam”). Kebingungan, ketidak mengertian, tak sadarkan diri sampai keadaan “mati suri” dialami oleh masyarakat (Islam) yang heterogen dalam pemahaman, keyakinan sampai pengamalan. Sesuatu yang mestinya tidaklah sedemikian parahnya seperti sekarang ini, keadaan umat yang “bergantung tak bertali”.
Romantika Politik Islam Masa Orde Baru
Rejim Orde Baru yang dipimpin Soeharto merupakan hasil dari “CPM (Cudeta Politik Militer)” terhadap Soekarno, telah membuat stempel sejarah dengan menjadikan dua tregedi sejarah yang terjadi di masa Orde Lama yaitu berdirinya NII 1949 (-“pemberontakan DI/TII”) dan G 30 S/PKI 1965 sebagai stempel negara untuk mengokohkan dan mempertahankan kekuasaan sosio politiknya. Stigma yang dibuat secara sistemik menjadikan “ekstrim kanan” NII dan “ekstrim kiri” PKI sebagai monster yang membahayakan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara (Baca : Orde baru).
H. Hartono Mardjono S.H., (Alm) menangkap fenomena unik yang terjadi pasca penumpasan G 30 S/PKI 1968-an dalam kehidupan sosial politik bangsa Indonesia. Setidakanya ada tiga fenomena unik diantaranya :
§  Pertama, ditengah-tengah kehidupan sehari-hari gairah masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan Islam memang luar biasa. Semua masjid penuh sesak pada setiap shalat Jum’at dan pada saat-saat Shalat Taraweh dan Shalat Ied. Di kantor-kantor, gedung-gedung, sekolah-sekolah, kampus-kampus maupun hotel diselenggarakan shalat Jum’at dan pengajian-pengajian, jumlah jama’ah Haji terus meninggat.
§  Fenomena kedua, dikantor-kantor pemerintah maupun perusahaan swasta dan kampus terjadi pembersihan terhadap sisa-sisa yang tersangkut langsung maupun tidak dengan G30S/PKI terus dilakukan.
§  Fenomena ketiga, adanya satu kekuatan yang sikap dan tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta selalu berupaya menyingkirkan Umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru. Klik atau kelompok kecil itu berada di bawah pimpinan Ali Moertopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan Orde Baru disamping menjadi pemimpin Operasi Khusus (Opsus), sebuah badan ekstrakonstitusional yang melakukan operasi-operasi khusus dengan cara-cara intelejen. Dalam prakteknya OPSUS merupakan invisible government yang dapat melakukan segala macam tindakan, termasuk merekayasa kehidupan sosial politik sehingga peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat.
Sebenarnya telah terjadi dua fenomena yang kontradiktif. Disatu pihak, Islam sangat diminati dalam kehidupan masyarakat, sekaligus dipelajari, dan diamalkan. Bahkan potensi umatnya sangat diperlukan dalam menumpas pemberontakan PKI. Akan tetapi, ibarat anomaly, di dalam masalah politik hal itu menjadi lain sama sekali.
Kuntowijoyo , menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan negara sebagian ajeg sebagian naik-turun. Menurutnya Kita “terpaksa” membedakan agama (Islam) sebagai kekuatan politik dan Islam sebagai Ibadah. Politik Islam demikian sudah dijalankan pada peralihan abad ke-20 oleh pemerintahan Hindia Belanda atas anjuran C. Snouck Hurgroje (Baca H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985) “Islam Politik” ditekan, “Islam Ibadah” di angkat. Hasilnya? Lahirnya SI (Syarekat Islam) pada tahun 1911 berkat mobilitas social kelas menengah terpelajar dan usahawan yang menjadikan Islam sebagai Aqidah dan Ideologi.
Sadar atau tidak rupanya Orde Baru memakai politik islam made in C. Snouck Hurgronje sepanjang 1970-1990. Kepada “Islam Politik” Orde Baru hubungannya diwarnai kecurigaan, dan kepada “Islam Ibadah” sepanjang tahun 1970 – 1990 menunjukan kenaikan terus menerus.
Dr. Din Syamsudin melihat hubungan “Islam Politik” dan pemerintahan Orde Baru diantaranya menyebutkan bahwa masa sepuluh tahun pertama (1966-1976) merupakan “masa pengkondisian” dimana terjadi depolitisasi terhadap kalangan Islam. Sepuluh tahun kedua (1976-1986) muncul apa yang disebut “masa uji coba” yang meniscayakan kalangan Islam menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam berbagai organisasi sosial politik .
Sementara R. William Liddle, Indonesianis asal Amerika, menyebutkan bahwa akhir 1960-an sampai pertengahan tahun 1980-an merupakan masa yang sangat berat bagi umat Islam, dalam posisinya sebagai kambing hitam tercetusnya berbagai peristiwa di tingkat nasional. Namun sejak pertengahan 1980-an, kebijakan politik Orde Baru melalui perlawanan yang bersifat manifes. Dalam hal ini, berkembang berbagai model koreksi dan kontrol terhadap jalannya kekuasaan melalui cara-cara yang terbuka dan artikulasi terus-terang.
Berbagai telaah tentang hubungan umat Islam dengan pemerintahan Orde Baru ternyata bermuara pada kesimpulan yang sama, yaitu diwarnai pasang surut. Responsifitas panggung politik Orde Baru terhadap Umat islam secara umum yang berdampak pada gerakan dakwah Islam secara khusus mengalami 3 masa peralihan.
Marginalisasi Islam Dari Panggung Politik Orde Baru (1968 – 1988)
Kuntowijoyo menuliskan tentang “Islam Politik” (istilah yang dipakai beliau tentang Politik Islam) dimana mitos politik tentang pembangkangan Islam sangat terpateri dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu sejak kerajaan-kerajaan tradisional (dengan “Kudeta” para wali melahirkan Kerajaan Demak) Zaman Belanda dengan PerlawananGerakan Islam), dan NKRI dengan (“DI/TII”) yang menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru bersikap sangat kritis terhadap “Islam Politik”. Demikianlah sepanjang tahun 1970 –1988 kata-kata “ekstrem kanan”, “NII”, “mendirikan Negara Islam”, “SARA” dan “Anti Pancasila” sangat gencar dituduhkan pada “Islam Politik”. Berjatuhan korban-korban di Nusakambangan, Cipinang, dan tempat-tempat lain.
Kalangan umat Islam, khususnya keluarga besar eks-Masyumi merasa sangat kecewa atas sikap dan kebijakan pemerintahan Orde Baru pada rentang tahun 70-an. Orde Baru telah melarang kehadiran kembali Masyumi, sementara Ali Moertopo dan kawan-kawan selaku invisible government melakukan rekayasa politik untuk mengubah status Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai partai politik dengan dukungan penuh ABRI dan birokrasi. Hal lain yang patut dicatat adalah adanya slogan atau doktrin yang disiapkan Ali Moertopo Cs dan kemudian selalu didengung-dengungkan di tengah masyarakat bahwa “Islam sangat membahayakan kelangsungan hidup Pancasila”, bahwa “Politik No, Pembangunan Yes”, “Rakyat harus menjadi floating mass” serta bagi pegawai negeri dan karyawan BUMN berlaku asas monoloyalitas mutlak kepada Golkar, bukan kepada bangsa dan Negara”.
Apa yang terjadi di tahun 1980-an dalam rangkaian peristiwa politik Orde Baru, diantaranya yang penting dicatat :
§  Tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto dengan resmi mengemukakan gagasan “Asas Tunggal Pancasila” di depan sidang pleno DPR RI yang kemudian tertuang dalam Tap II/MPR/1983, tentang GBHN yang mengatur kehidupan sosio politk, yang menegaskan : “… demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, secara partai politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas.”
§  Sementara itu Menteri Agama RI pada tanggal 6 November 1982 menyatakan “Wadah Musyawarah antar Umat Beragama” yang diakui oleh pemerintah sebagai lembaga, terdiri dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) DGI (Dewan Gereja Indonesia), MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia), PHDP (Parasida Hindhu Dharma Pusat) dan WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia). Sementara majelis agama dan organisasi kemaysrakatan mempunyai asas keyakinan menurut agama masing-masing dengan tetap tidak mengabaikan penghayatan dan pengamalan Pancasila, sebab tujuan mereka ialah “ …Untuk membina umatnya masing-masing agar menjadi pemeluk/pengikut agama yang taat, sekaligus warga negara yang Pancasilais”.
§  Selanjutnya Menteri Pemuda dan Olah Raga, Abdul Gafur mendesak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bukan parpol untuk merubah Anggaran Dasar Organisasinya dalam Kongres HMI di Medan, menjadikan Pancasila sebagai asas.
§  Pemerintah Orde Baru mengajukan RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menegaskan pasal 2 berbunyi : “Organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Dan RUU tersebut disahkan menjadi UU oleh DPR.
Menarik untuk dicermati respon M. Natsir (alm) terhadap perkembangan politik pemerintahan Orde Baru tahun 1980-an pada Panji Masyarakat No. 542 Juni 1987 beliau menyatakan : “ Dulu Islam dan Pancasila ibarat dua sejoli, “kerabat kerja” yang bersama-sama tampil ke depan dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu zaman beredar, musim berganti. Sekarang (1980-an) kelihatan duduk berdampingan saja tidak diperbolehkan lagi. Selanjutnya beliau menyatakan “ adapun perspektif di zaman seterusnya banyak sekali tergantung kepada umat Islam sendiri. Kepada kemampuannya memulihkan rasa-harga-diri, dan kualitas kegiatannya menghadapi ujian masa. Tidak ada yang tetap dalam hidup –duniawi ini. Yang tetap hanya terus beredarnya perubahan.
Masa Orde Baru yang akomodatif terhadap Islam (1988 – 1996)
Bila Dasawarsa 1970-an dihiasi dengan adanya peristiwa Komando Jihad (Komji), 1984 terjadi Peristiwa Tanjung Periok, tahun 1989 ada GPK Lampung. Pada tahun 1990-an istilah “Islam phobi” balik digunakan untuk orang-orang yang mencoba mendeskriditkan Islam maka sejak itu menurut Kunto gugurlah mitos-mitos politik pembangkangan Islam. Umat merasakan kembali hak sebagai warga negara penuh, umat Islam bukan lagi Underdog.
Diawali pada periode Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan diteruskan pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), kebijakan politik Mandataris MPR yang akomodatif terhadap Islam memang dapat dilihat dan dirasakan. Islam dan umat tidak “lagi” dipinggirkan dan disudutkan dari kekuasaan politik sehingga ajaran-ajarannya mulai dirasakan manfaatnya bagi kepentingan pembangunan dan kehidupan bangsa Indonesia . Keadaan sosio politik pasca 1988 berpengaruh pula terhadap adanya iklim kondusif bagi berkembangnya gerakan dakwah.
Sikap akomodatif pemerintah terhadap umat Islam diantaranya :
1.      Disetujuinya Inisiatif pemerintah yang mengajukan RUU Sistem Pendidikan Nasional kepada DPR dan menjadi UU Sistem Diknas yang salah satu ketentuan dalam UU tersebut tercantum adanya Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib yang harus diberikan kepada anak didik dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi.
2.      Disyahkannya UU Peradilan Agama yang memuat bahwa bagi mereka yang beragama Islam berlaku hukum Islam dalam masalah perkawinan, warisan, waqaf, hibah dan sedekah.
3.      Disyahkannya UU Perbankan tentang keberadaan Bank Muamalat Indonesia dengan system Ekomoni Syari’at dan diperbolehkannya berdirinya Bank-bank yang berdasarkan system ekonomi syari’at, maka berdirilah Bank-bank Perkeriditan Syari’at (BPR Syariah).
4.      Penghapusan larangan mengenakan Jilbab. Sebelum SU MPR 1988, sejak tahun 1978 di lingkungan sekolah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daud Yusuf yang juga Direktur CSIS melarang siswa Muslimah mengenakan Jilbab yang berdampak pada banyaknya korban yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. Kebijakan ini mendapat reaksi yang sangat keras dari Umat Islam yang akhirnya larangan mengenakan jilbab di hapus oleh pemerintah.
5.      Penghapusan Judi SDSB seusai SU MPR 1988.
6.      Berdirinya ICMI yang diketuai oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie yang juga selaku Menristek pada tahun 1990. Dengan hadirnya ICMI berdampak pada akomodatif pemerintah terhadap umat Islam.
7.      Dijadikannya IMTAK (Iman dan Takwa) sebagai asas Pembangunan Nasional dalam GBHN 1993 yang merupakan produk SU MPR 1993.
8.      Melemahnya kekuasaan “RMS” (Radius, Mooi, Sumarlin) pada Kabinet Pembangunan VI tahun 1993 dan digantikan perannya oleh Saleh Afif dan Mar’ie Muhammad, serta banyak menteri baru dari ICMI, sehingga menguatnya isu Islamisasi atau “penghijauan” di pemerintahan.
Mendekatnya Soeharto ke Islam adalah realitas politik yang dihadapi pada masa ini. Menurut sejumlah pengamat, bergesernya sikap politik Soeharto yang lebih cenderung ke Islam memunculkan tiga kemungkinan. Pertama adanya kooptasi pemerintah terhadap umat Islam. Pemerintah sebagai subyek menjadikan umat Islam sebagai obyek dan dimanfaatkan untuk tujuan politiknya.
Kedua, adanya akomodasi pemerintah terhadap umat Islam. Pemerintah menyadari akan kekeliruannya di masa lalu. Sebagai balasannya, pemerintah mengakomodasi kepentingan umat Islam dengan cara mendekati, merangkul umat Islam dan memberikan tempa yang layak di dalam inner circle kekuasaan.
Ketiga, suatu bentuk integrasi umat ke pemerintah. Disini posisi umat sebagai pihak yang pro-aktif terhadap pemerintah. Umat Islam sebagai subyek melakukan integrasi ke dalam lingkar kekuasaan. Hal ini dapat juga dibaca sebagai keberhasilan umat Islam membuat jaringan dakwah hingga menembus lapisan kekuasaan tertinggi, yakni presiden .
Sulit untuk melihat dari tiga kemungkinan itu mana yang benar karena sejarah politik Islam di Indonesia tidak pernah terlepas dari idiom “pendorong mobil mogok” “habis manis sepah dibuang” atau politik “NU (Nurut Udud)”.
 diposting oleh :
Nama : M vista nazar                                                                                   kelas    :2ea11
NPM   :14210444



Hubungan warga Negara dan Negara

Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus:negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
Di bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya. Dari dasar pemikiran ini muncul mata pelajaran Kewarganegaraan
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
1.     setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2.     anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3.     anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4.     anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5.     anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6.     anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7.     anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8.     anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9.     anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
1.     anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2.     anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3.     anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4.     anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1.     Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2.     Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
 diposting oleh :
Nama  : M.vista nazar                                                                                  kelas : 2ea11
NPM   :14210444



Lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia:"Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan") pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal "Pancasila" pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPK tersebut.
Latar Belakang
Menjelang kekalahan Tentara Kekaisaran Jepang di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang di Indonesia berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan" atau BPUPK, yang kemudian menjadi BPUPKI, dengan tambahan "Indonesia").
Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei (yang nantinya selesai tanggal 1 Juni 1945).Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara. Rapat pertama ini diadakan di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutanGedung Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (bahasa Indonesia: "Perwakilan Rakyat").
Setelah beberapa hari tidak mendapat titik terang, pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai.
Selanjutnya Dokuritsu Junbi Cosakai membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno tersebut. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin) yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Seltelah melalui proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya rumusan Pancasila hasil penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. 
Dalam kata pengantar atas dibukukannya pidato tersebut, yang untuk pertama kali terbit pada tahun 1947, mantan Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebut pidato Ir. Soekarno itu berisi “Lahirnya Pancasila”.
”Bila kita pelajari dan selidiki sungguh-sungguh “Lahirnya Pancasila” ini, akan ternyata bahwa ini adalah suatu Demokratisch Beginsel, suatu Beginsel yang menjadi dasar Negara kita, yang menjadi Rechtsideologie Negara kita; suatu Beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan, meskipun sidang ada dibawah penilikan yang keras dari Pemerintah Balatentara Jepang. Memang jiwa yang berhasrat merdeka, tak mungkin dikekang-kekang! Selama Fascisme Jepang berkuasa dinegeri kita, Demokratisch Idee tersebut tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk mewujudkannya. Mudah-mudahan ”Lahirnya Pancasila” ini dapat dijadikan pedoman oleh nusa dan bangsa kita seluruhnya dalam usaha memperjuangkan dan menyempurnakan Kemerdekaan Negara.
Pancasila secara resmi menjadi dasar Negara Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945  ketika ditetapkannya  Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). secara rinci, rumusan Pancasila tercantum di dalam  Pembukaan UUD 1945 sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.  Proses Penyusunan dan Penetapan.
a. Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan  Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pada tanggal 29 April 1945 dibentuk bPUPKI dan dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. dengan terbentuknya badan ini, bangsa Indonesia mendapat kesempatan secara legal untuk membicarakan dan mempersiapkan keperluan kemerdekaan Indonesia, anta lain mempersiapkan Undang-Undang Dasar yang berisi antara lain dasar negara, tujuan negara, bentuk negara, dan sistem pemerintahan.
b. Penyusunan Konsep Rancangan Dasar Negara dan Rancangan Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi negara Indonesia merdeka.
Pada tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945 diselenggarakan sidang BPUPKI yang pertama. Dalam sidang ini, Ketua BPUPKI dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat menyatakan kepada peserta sidang mengenai dasar falsafah apa yang akan dibentuk bagi negara Indonesia merdeka.
a.) Mr.Muhammad Yamin. → 29 Mei 1945
~Usulan rumusan dasar negara secara lisan:
1. Peri kebangsaan
2. Peri kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri kerakyatan
5. Kesejahteraan rakyat
~Usulan rumusan dasar negara secara tertulis :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah   kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.) Prof.Dr.Mr.R.Soepomo. → 31 Mei 1945
Usulan konsep dasar negara Indonesia :
1. Paham negara persatuan
2. Hubungan negara dan agama
3. Sistem badan permusyawaratan
4. Sosialisme negara
5. Hubungan antarbangsa
c.) Ir. Soekarno. → 1 Juni 1945
Ir. Soekarno mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka adalah Pancasila.
Rumusan dasar negara Indonesia :
1.  Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Dasar Negara menurut Jakarta Charter (22 Juni 1945) :
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Sidang BPUPKI yang kedua tanggal 10 s/d 16 Juli 1945.
Pada sidang pleno kedua BPUPKI membicarakan tentang rancangan undang-undang dasar Negara Indonesia merdeka dan berhasil membentuk panitia kecil. Panitia Kecil yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, bertugas merumuskan rancangan Pembukaan undang-undang dasar yang berisi tujuan dan asas Negara Indonesia merdeka. Panitia Kecil yang dipimpin oleh Prof.Dr.Mr.R.Soepomo, bertugas merumuskan rancangan batang tubuh undang-undang dasar dan rancangan naskah proklamasi.
Pada hari kelima sidang ini, yakni tanggal 14 Juli 1945 telah diterima rancangan dasar Negara sebagaimana tersebut dalam Piagam Jakarta yang dicantumkan dalam Pembukaan dari rencana UUD yang sedang disiapkan.
d. Penetapan UUD 1945.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, anggota PPKI bersidang menetapkan:
1.  Mengesahkan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
2.  Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs.Moh.Hatta
sebagai Wakil Presiden RI yang pertama.
3.  Untuk sementara waktu, pekerjaan presiden sehari-hari dibantu
oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat ( BP-KNIP ).
Rumusan dasar Negara yang disahkan dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, berbunyi sebagai berikut.
a. Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Persatuan Indonesia.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 diposting oleh :
nama : m vista nazar
kelas :2ea11
npm :14210444