Islam dan Negara orde baru
Politik Islam, Dakwah dan Negara
Disharmoni antara politik Islam, Dakwah dan Negara (Institusi
politik) adalah realitas yang tak bisa disangkal, tak ada yang linier apalagi
sinergis antara ketiganya (Politik Islam, Dakwah dan Negara) baik dalam tataran
konsepsi maupun aksi. Ketiganya bisa berjalan sendiri-sendiri, bisa pula
berjalan paralel atau berjalan seri, bisa juga berjalan berhadap-hadapan
politik Islam kontra dakwah, dakwah kontra negara, negara kontra politik Islam
bisa juga politik Islam dan dakwah kontra negara, negara dan dakwah kontra
politik Islam, atau negara dan politik Islam kontra dakwah.
Tidak ajegnya hubungan
politik Islam, Dakwah dan Negara salah satu sebab yang telah disebutkan diatas
adalah tidak adanya “Unity of command”, dan sebab lainnya karena corak
Islam yang multi interpretasi sebagai hasil dari perjalanan sejarah Islam dalam
eskalasi global dunia maupun lokal keindonesiaan. Ketidak ajegan juga dikarenakan
tindakan musuh-musuh Islam baik dengan metode persuasive, refresive maupun aksi
militeristik yang terus-menerus berupaya “memenjarakan” dan “membunuh” Islam
dan Umat Islam sebagai sesuatu yang dianggap tidak layak dan tidak pantas hidup
di muka bumi.
Realitas kehidupan sebagai umat manusia yang diwajibkan oleh
Allah swt untuk berbakhti memenuhi kehendak Ilahi seakan ada di wilayah samar
keadaan yang diliputi hijab yang tumpang tindih dari gradasi hitam pekat,
hitam, kehitam-hitaman sampai putih kehitaman (meski tidak beranjak dari
kenyataan “hitam”). Kebingungan, ketidak mengertian, tak sadarkan diri sampai
keadaan “mati suri” dialami oleh masyarakat (Islam) yang heterogen dalam
pemahaman, keyakinan sampai pengamalan. Sesuatu yang mestinya tidaklah sedemikian
parahnya seperti sekarang ini, keadaan umat yang “bergantung tak bertali”.
Romantika Politik Islam Masa Orde Baru
Rejim Orde Baru yang
dipimpin Soeharto merupakan hasil dari “CPM (Cudeta Politik Militer)”
terhadap Soekarno, telah membuat stempel sejarah dengan menjadikan dua tregedi
sejarah yang terjadi di masa Orde Lama yaitu berdirinya NII 1949
(-“pemberontakan DI/TII”) dan G 30 S/PKI 1965 sebagai stempel negara untuk
mengokohkan dan mempertahankan kekuasaan sosio politiknya. Stigma yang dibuat
secara sistemik menjadikan “ekstrim kanan” NII dan “ekstrim kiri” PKI sebagai monster yang membahayakan bagi kelangsungan hidup
bangsa dan negara (Baca : Orde baru).
H. Hartono Mardjono S.H., (Alm) menangkap fenomena unik yang
terjadi pasca penumpasan G 30 S/PKI 1968-an dalam kehidupan sosial politik
bangsa Indonesia. Setidakanya ada tiga fenomena unik diantaranya :
§
Pertama, ditengah-tengah kehidupan sehari-hari gairah masyarakat
untuk mempelajari dan mengamalkan Islam memang luar biasa. Semua masjid penuh
sesak pada setiap shalat Jum’at dan pada saat-saat Shalat Taraweh dan Shalat
Ied. Di kantor-kantor, gedung-gedung, sekolah-sekolah, kampus-kampus maupun
hotel diselenggarakan shalat Jum’at dan pengajian-pengajian, jumlah jama’ah
Haji terus meninggat.
§
Fenomena kedua, dikantor-kantor pemerintah maupun perusahaan
swasta dan kampus terjadi pembersihan terhadap sisa-sisa yang tersangkut
langsung maupun tidak dengan G30S/PKI terus dilakukan.
§
Fenomena ketiga, adanya satu kekuatan yang sikap dan tindakannya
sangat tidak menyenangkan Islam serta selalu berupaya menyingkirkan Umat Islam
dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru. Klik
atau kelompok kecil itu berada di bawah pimpinan Ali Moertopo, asisten pribadi
bidang politik pimpinan Orde Baru disamping menjadi pemimpin Operasi Khusus
(Opsus), sebuah badan ekstrakonstitusional yang melakukan operasi-operasi
khusus dengan cara-cara intelejen. Dalam prakteknya OPSUS merupakan invisible
government yang dapat melakukan segala macam tindakan, termasuk merekayasa
kehidupan sosial politik sehingga peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat.
Sebenarnya telah
terjadi dua fenomena yang kontradiktif. Disatu pihak, Islam sangat diminati
dalam kehidupan masyarakat, sekaligus dipelajari, dan diamalkan. Bahkan potensi
umatnya sangat diperlukan dalam menumpas pemberontakan PKI. Akan tetapi, ibarat anomaly,
di dalam masalah politik hal itu menjadi lain sama sekali.
Kuntowijoyo , menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan negara
sebagian ajeg sebagian naik-turun. Menurutnya Kita “terpaksa” membedakan agama
(Islam) sebagai kekuatan politik dan Islam sebagai Ibadah. Politik Islam
demikian sudah dijalankan pada peralihan abad ke-20 oleh pemerintahan Hindia
Belanda atas anjuran C. Snouck Hurgroje (Baca H. Aqib Suminto, Politik Islam
Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985) “Islam Politik” ditekan, “Islam Ibadah”
di angkat. Hasilnya? Lahirnya SI (Syarekat Islam) pada tahun 1911 berkat
mobilitas social kelas menengah terpelajar dan usahawan yang menjadikan Islam
sebagai Aqidah dan Ideologi.
Sadar atau tidak
rupanya Orde Baru memakai politik islam made in C. Snouck
Hurgronje sepanjang 1970-1990. Kepada “Islam Politik” Orde Baru hubungannya
diwarnai kecurigaan, dan kepada “Islam Ibadah” sepanjang tahun 1970 – 1990
menunjukan kenaikan terus menerus.
Dr. Din Syamsudin melihat hubungan “Islam Politik” dan
pemerintahan Orde Baru diantaranya menyebutkan bahwa masa sepuluh tahun pertama
(1966-1976) merupakan “masa pengkondisian” dimana terjadi depolitisasi terhadap
kalangan Islam. Sepuluh tahun kedua (1976-1986) muncul apa yang disebut “masa
uji coba” yang meniscayakan kalangan Islam menerima Pancasila sebagai asas
tunggal dalam berbagai organisasi sosial politik .
Sementara R. William Liddle, Indonesianis asal Amerika,
menyebutkan bahwa akhir 1960-an sampai pertengahan tahun 1980-an merupakan masa
yang sangat berat bagi umat Islam, dalam posisinya sebagai kambing hitam
tercetusnya berbagai peristiwa di tingkat nasional. Namun sejak pertengahan
1980-an, kebijakan politik Orde Baru melalui perlawanan yang bersifat manifes.
Dalam hal ini, berkembang berbagai model koreksi dan kontrol terhadap jalannya
kekuasaan melalui cara-cara yang terbuka dan artikulasi terus-terang.
Berbagai telaah tentang hubungan umat Islam dengan pemerintahan
Orde Baru ternyata bermuara pada kesimpulan yang sama, yaitu diwarnai pasang
surut. Responsifitas panggung politik Orde Baru terhadap Umat islam secara umum
yang berdampak pada gerakan dakwah Islam secara khusus mengalami 3 masa
peralihan.
Marginalisasi Islam Dari Panggung Politik Orde
Baru (1968 – 1988)
Kuntowijoyo menuliskan tentang “Islam Politik” (istilah yang
dipakai beliau tentang Politik Islam) dimana mitos politik tentang
pembangkangan Islam sangat terpateri dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu
sejak kerajaan-kerajaan tradisional (dengan “Kudeta” para wali melahirkan
Kerajaan Demak) Zaman Belanda dengan PerlawananGerakan Islam), dan NKRI dengan
(“DI/TII”) yang menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru bersikap sangat
kritis terhadap “Islam Politik”. Demikianlah sepanjang tahun 1970 –1988
kata-kata “ekstrem kanan”, “NII”, “mendirikan Negara Islam”, “SARA” dan “Anti
Pancasila” sangat gencar dituduhkan pada “Islam Politik”. Berjatuhan
korban-korban di Nusakambangan, Cipinang, dan tempat-tempat lain.
Kalangan umat Islam, khususnya keluarga besar eks-Masyumi merasa
sangat kecewa atas sikap dan kebijakan pemerintahan Orde Baru pada rentang
tahun 70-an. Orde Baru telah melarang kehadiran kembali Masyumi, sementara Ali
Moertopo dan kawan-kawan selaku invisible government melakukan rekayasa politik
untuk mengubah status Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar)
sebagai partai politik dengan dukungan penuh ABRI dan birokrasi. Hal lain yang
patut dicatat adalah adanya slogan atau doktrin yang disiapkan Ali Moertopo Cs
dan kemudian selalu didengung-dengungkan di tengah masyarakat bahwa “Islam
sangat membahayakan kelangsungan hidup Pancasila”, bahwa “Politik No, Pembangunan
Yes”, “Rakyat harus menjadi floating mass” serta bagi pegawai negeri dan
karyawan BUMN berlaku asas monoloyalitas mutlak kepada Golkar, bukan kepada
bangsa dan Negara”.
Apa yang terjadi di tahun 1980-an dalam rangkaian peristiwa
politik Orde Baru, diantaranya yang penting dicatat :
§
Tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto dengan resmi
mengemukakan gagasan “Asas Tunggal Pancasila” di depan sidang pleno DPR RI yang
kemudian tertuang dalam Tap II/MPR/1983, tentang GBHN yang mengatur kehidupan
sosio politk, yang menegaskan : “… demi kelestarian dan pengamalan Pancasila,
secara partai politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan
sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas.”
§
Sementara itu Menteri Agama RI pada tanggal 6 November 1982
menyatakan “Wadah Musyawarah antar Umat Beragama” yang diakui oleh pemerintah
sebagai lembaga, terdiri dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) DGI (Dewan Gereja
Indonesia), MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia), PHDP (Parasida Hindhu
Dharma Pusat) dan WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia). Sementara majelis
agama dan organisasi kemaysrakatan mempunyai asas keyakinan menurut agama
masing-masing dengan tetap tidak mengabaikan penghayatan dan pengamalan
Pancasila, sebab tujuan mereka ialah “ …Untuk membina umatnya
masing-masing agar menjadi pemeluk/pengikut agama yang taat, sekaligus warga
negara yang Pancasilais”.
§
Selanjutnya Menteri Pemuda dan Olah Raga, Abdul Gafur mendesak
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bukan parpol untuk merubah Anggaran Dasar
Organisasinya dalam Kongres HMI di Medan, menjadikan Pancasila sebagai asas.
§
Pemerintah Orde Baru mengajukan RUU tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang menegaskan pasal 2 berbunyi : “Organisasi kemasyarakatan
berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Dan RUU tersebut disahkan
menjadi UU oleh DPR.
Menarik untuk
dicermati respon M. Natsir (alm) terhadap perkembangan politik pemerintahan
Orde Baru tahun 1980-an pada Panji Masyarakat No. 542 Juni 1987 beliau
menyatakan : “ Dulu Islam dan Pancasila ibarat dua sejoli, “kerabat
kerja” yang bersama-sama tampil ke depan dalam menghadapi persoalan-persoalan
hidup bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu zaman beredar, musim berganti.
Sekarang (1980-an) kelihatan duduk berdampingan saja tidak diperbolehkan lagi.
Selanjutnya beliau menyatakan “ adapun perspektif di zaman seterusnya banyak
sekali tergantung kepada umat Islam sendiri. Kepada kemampuannya memulihkan
rasa-harga-diri, dan kualitas kegiatannya menghadapi ujian masa. Tidak ada yang
tetap dalam hidup –duniawi ini. Yang tetap hanya terus beredarnya perubahan.
Masa Orde Baru yang akomodatif terhadap Islam
(1988 – 1996)
Bila Dasawarsa 1970-an dihiasi dengan adanya peristiwa Komando
Jihad (Komji), 1984 terjadi Peristiwa Tanjung Periok, tahun 1989 ada GPK
Lampung. Pada tahun 1990-an istilah “Islam phobi” balik digunakan untuk
orang-orang yang mencoba mendeskriditkan Islam maka sejak itu menurut Kunto
gugurlah mitos-mitos politik pembangkangan Islam. Umat merasakan kembali hak
sebagai warga negara penuh, umat Islam bukan lagi Underdog.
Diawali pada periode Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan
diteruskan pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), kebijakan politik
Mandataris MPR yang akomodatif terhadap Islam memang dapat dilihat dan
dirasakan. Islam dan umat tidak “lagi” dipinggirkan dan disudutkan dari
kekuasaan politik sehingga ajaran-ajarannya mulai dirasakan manfaatnya bagi
kepentingan pembangunan dan kehidupan bangsa Indonesia . Keadaan sosio politik
pasca 1988 berpengaruh pula terhadap adanya iklim kondusif bagi berkembangnya
gerakan dakwah.
Sikap akomodatif
pemerintah terhadap umat Islam diantaranya :
1.
Disetujuinya Inisiatif pemerintah yang mengajukan RUU Sistem
Pendidikan Nasional kepada DPR dan menjadi UU Sistem Diknas yang salah satu
ketentuan dalam UU tersebut tercantum adanya Pendidikan Agama menjadi mata
pelajaran wajib yang harus diberikan kepada anak didik dari Taman Kanak-kanak
hingga Perguruan Tinggi.
2.
Disyahkannya UU Peradilan Agama yang memuat bahwa bagi mereka
yang beragama Islam berlaku hukum Islam dalam masalah perkawinan, warisan,
waqaf, hibah dan sedekah.
3.
Disyahkannya UU Perbankan tentang keberadaan Bank Muamalat
Indonesia dengan system Ekomoni Syari’at dan diperbolehkannya berdirinya Bank-bank
yang berdasarkan system ekonomi syari’at, maka berdirilah Bank-bank
Perkeriditan Syari’at (BPR Syariah).
4.
Penghapusan larangan mengenakan Jilbab. Sebelum SU MPR 1988,
sejak tahun 1978 di lingkungan sekolah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Daud Yusuf yang juga Direktur CSIS melarang siswa Muslimah mengenakan Jilbab
yang berdampak pada banyaknya korban yang dikeluarkan oleh pihak sekolah.
Kebijakan ini mendapat reaksi yang sangat keras dari Umat Islam yang akhirnya
larangan mengenakan jilbab di hapus oleh pemerintah.
5. Penghapusan Judi SDSB
seusai SU MPR 1988.
6.
Berdirinya ICMI yang diketuai oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie
yang juga selaku Menristek pada tahun 1990. Dengan hadirnya ICMI berdampak pada
akomodatif pemerintah terhadap umat Islam.
7. Dijadikannya IMTAK
(Iman dan Takwa) sebagai asas Pembangunan Nasional dalam GBHN 1993 yang
merupakan produk SU MPR 1993.
8.
Melemahnya kekuasaan “RMS” (Radius, Mooi, Sumarlin) pada Kabinet
Pembangunan VI tahun 1993 dan digantikan perannya oleh Saleh Afif dan Mar’ie
Muhammad, serta banyak menteri baru dari ICMI, sehingga menguatnya isu
Islamisasi atau “penghijauan” di pemerintahan.
Mendekatnya Soeharto
ke Islam adalah realitas politik yang dihadapi pada masa ini. Menurut sejumlah
pengamat, bergesernya sikap politik Soeharto yang lebih cenderung ke Islam
memunculkan tiga kemungkinan. Pertama adanya kooptasi pemerintah terhadap umat
Islam. Pemerintah sebagai subyek menjadikan umat Islam sebagai obyek dan
dimanfaatkan untuk tujuan politiknya.
Kedua, adanya akomodasi
pemerintah terhadap umat Islam. Pemerintah menyadari akan kekeliruannya di masa
lalu. Sebagai balasannya, pemerintah mengakomodasi kepentingan umat Islam
dengan cara mendekati, merangkul umat Islam dan memberikan tempa yang layak di
dalam inner circle kekuasaan.
Ketiga, suatu bentuk
integrasi umat ke pemerintah. Disini posisi umat sebagai pihak yang pro-aktif
terhadap pemerintah. Umat Islam sebagai subyek melakukan integrasi ke dalam
lingkar kekuasaan. Hal ini dapat juga dibaca sebagai keberhasilan umat Islam
membuat jaringan dakwah hingga menembus lapisan kekuasaan tertinggi, yakni
presiden .
Sulit untuk melihat dari tiga kemungkinan itu mana yang benar
karena sejarah politik Islam di Indonesia tidak pernah terlepas dari idiom
“pendorong mobil mogok” “habis manis sepah dibuang” atau politik “NU (Nurut
Udud)”.
diposting oleh :
Nama : M vista nazar kelas :2ea11
NPM :14210444